Opinikampus.com – Menjadi sarjana tidak lagi pelik dan sulit bagi mahasiswa tingkat akhir yang tak punya kemauan dan kemampuan menulis skripsi. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan menyerahkan sepenuhnya kepada perguruan tinggi memilih bentuk tugas akhir bagi mahasiswa. Ada banyak pilihan agar mendapatkan gelar sarjana. Mahasiswa bisa membuat prototipe dan proyek sebagai ganti skripsi. Apa manfaatnya?
Sudah Dipraktikkan: Alternatif Lain untuk Skripsi
Kebijakan tidak mewajibkan skripsi sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana bukan hal baru. Beberapa universitas malah sudah mengganti skripsi dengan tugas yang lain. Universitas Jenderal Soedirman memberikan alternatif selain skripsi berupa pembuatan proyek. Setali tiga uang, Universitas Indonesia pun menerima proyek, dan artikel yang dipublikasikan di Jurnal Sinta (Science and Technology Index) ataupun jurnal internasional yang terakreditasi sebagai pengganti skripsi.
Sekarang, banyak mahasiswa berprestasi. Meskipun masih mahasiswa, tapi penguasaan teori dan keterampilan tak kalah dengan pakar. Banyak mahasiswa sudah punya karya tulis, seperti novel, cerpen, antologi puisi, artikel ilmiah, kumpulan opini, dan lain sebagainya. Program aplikasi, robot, sistem elektronik, desain produk, dan lain sebagainya yang bertebaran di tengah masyarakat sebagai karya mahasiswa sains. Mahasiswa pengusaha juga semakin banyak. Mereka masih kuliah tapi memiliki usaha dengan pendapatan yang tak kalah pengusaha senior.
Mahasiswa yang sudah berkarya di tengah masyarakat seharusnya tak memerlukan skripsi membuktikan keahliannya. Mereka cukup membuat portofolio atas berbagai prestasinya sebagai pengganti skripsi. Itu lebih adil bagi mereka. Apalagi, kalau kemampuan menulis rendah dan tak cukup waktu menulis skripsi. Tentu menjadi masalah mendapatkan gelar sarjana. Akhirnya, mereka putus kuliah. Makanya tak usah heran banyak orang sukses yang kuliahnya tidak selesai.
Tantangan dalam Menulis: Mengapa Alternatif Dibutuhkan
Apalagi, menulis bukan persoalan mudah. Bisa jadi hanya Aswendo Atmowiloto yang beranggapan menulis pekerjaan mudah, seperti tuturnya pada buku Mengarang Itu Gampang. Bahkan bagi mahasiswa sastra dan komunikasi yang notebene mempelajari dunia penulisan pun belum tentu cakap menulis. Toh, di dua jurusan tersebut tidak banyak menghasilkan penulis yang cakap dan andal. Sistem pembelajaran menulis masih sangat teoretis dan tidak praktis di bangku kuliah. Padahal menulis adalah sebuah keterampilan yang bisa dipelajari oleh siapa pun. Bahwa menulis sebagai sebuah keterampilan masih membutuhkan banyak pembuktian dalam proses pembelajaran menulis.
Ancaman Korupsi dalam Skripsi
Ironinya di tengah ketidakmampuan mahasiswa menulis skripsi, bermunculan joki skripsi sebagai alternatif bagi mahasiswa meraih gelar sarjana. Joki skripsi, merujuk pada praktiknya, adalah mahasiswa menyewa jasa atau membayar orang lain untuk menulis, mengedit atau membantu penyelesaian tugas skripsi. Praktik ini dapat melibatkan pihak ketiga yang mengerjakan seluruh skripsi atau hanya memberikan bantuan dalam beberapa bagian tertentu. Namun kebanyakan praktik joki skripsi, si joki menyelesaikan tugas mulai dari bab isi sampai penutupan.
Tantangan Tersembunyi: Fenomena Joki Skripsi
Joki skripsi berkembang bak cendawan di musim hujan. Jasa konsultasi skripsi tidak malu lagi menawarkan diri kepada khalayak. Lihat saja di seputar kampus. Iklan-iklan menawarkan pembuatan skripsi mudah ditemukan di pohon, tembok, dan seputar jalan. Apalagi menggunakan jasa mesin pencari seperti Google. Sekali klik kalimat “buat skripsi”, langsung beribu file yang menawarkan lembaga pembuat skripsi bermunculan. Fenomena joki skripsi hadir karena adanya permintaan dan penawaran. Sistem yang dibangun dunia pendidikan ternyata memuat kekuatan-kekuatan pasar yang terbilang anomin (Wahono, 2001).
Penyewaan joki membuat skripsi merupakan bibit-bibit perilaku tindak pidana korupsi. karya akademis yang seharusnya dibuat sebagai tolok ukur pemahaman mahasiswa tidak lagi dianggap menjadi hal krusial yang harus dikerjakan sendiri. Dengan menggunakan joki, mahasiswa sudah melakukan kebohongan dan tidak jujur atas apa yang diperbuat. Kala terus dipertahankan menjadi praktik awal korupsi mahasiswa. Sampai kapan pun Indonesia bakal menjadi Negara terkorup di dunia.
Masa Depan Pendidikan: Pengaruh Alternatif Terhadap Korupsi
Nasib negara ini sangat tergantung kepada kualitas mahasiswa. Jika sedari mahasiswa saja menghalalkan segala cara mencapai tujuan, maka tak usah berharap negeri ini bebas korupsi. Data Transparency International yang dirilis pada Februari lalu menunjukkan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 angka. Nilai seratus berarti Negara tersebut bebas dari kursi. Bayangkan betapa rendahnya persepsi bangsa ini pada korupsi.
Bila menilik sejarahnya, skripsi sebenarnya warisan zaman Belanda untuk program setara magister, yang di negara asalnya sudah tidak diberlakukan lagi. Bahkan di negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan Australia, Skripsi hanya untuk mahasiswa program honors dengan gelar B.A (Hons), B.Eng (Hons). Itu pun untuk mengambil program Hons harus memenuhi nilai IPK tertentu. Tidak semua mahasiswa diwajibkan menulis skripsi seperti di sini. Hanya mahasiswa yang mempunyai nilai akademis unggul dan berkemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diwajibkan membuat skripsi.
Penutup: Pilihan Masa Depan
Kenyataan tersebut menjadi alasan betapa penulisan skripsi sebagai sarat mendapatkan gelar sarjana tidak relevan lagi dipertahankan. Itu artinya Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 menjadi angin segar bagi pemberantasan korupsi di kampus, sekaligus memberi keleluasaan kampus menentukan kelulusan mahasiswa yang memiliki keunikan dan keberagaman kemampuan.
Dr. Arfanda Siregar, M.Si Ketua Komisi A Senat Politeknik Negeri Medan